Bersama Sukses

pengetahuan rakyat adalah kekayaan bangsa yang tak ternilai

header photo

 

Belajar Menjadi Beradab

REKIBLIK ETEKEWER XVI – BELAJAR MENJADI BERADAB

Simbah nampak santai beristirahat di bawah sebuah pohon nangka bersama cucu kesayangan sambil sesekali mengipaskan caping untuk mengusir rasa sumuk. Ngger hari ini negri Rekiblik Etekewer menjalani dua moment yang penting, memperingati hari bersejarah kesaktian dasar negri dan pengesahan wakil kawulo negri. Kedua peristiwa itu sepintas tidak berhubungan, tapi kalau kita mau sedikit menilik kedalam akan ditemukan hubungan yang erat yaitu sama-sama Belajar Menjadi Beradab. Belajar menjadi beradab diantaranya termaktub maksud bagaimana menempatkan nilai-nilai berdasarkan kesejatian tatanan kehidupan  berkemanusiaan.

Iya ya… Mbah kalau dilihat dari sejarahnya, dasar negri Rekiblik Etekewer itu mulai dari awal terbentuknya hingga menjadi ada, dan perjalanannya dalam memandu negri banyak sekali mengalami terpaan dan ujian, banyak sekali mengalami pengkhianatan dari anak-anak negrinya sendiri. Bahkan sampai sekarangpun masih ada kok Mbah yang ingin mengganti bahkan menghilangkan falsafah negri itu. Padahal kalau dilihat dari sejarah terbentuknya khan merupakan Amien nya kompromi kolektif para tokoh-tokoh dan pendiri negri Rekiblik yang notabene berlatar belakang sangat beragam. Seperti halnya negri Rekiblik Etekewer itu khan ada dan berdiri berlandaskan sebuah sumpah dari keberagaman yang berkomitmen. Di dalam dasar negri Rekiblik Etekwer itu semua keberagaman itu terwakili didalam sila-silanya, negri-negri lain tidak ada yang memiliki dasar negri yang sebijaksana itu Mbah.

Coba kamu bayangkan Ngger, sebuah negri yang sangat beragam identitas dan entitas penyusunnya tidak memiliki dasar negri seperti itu. Wach…. lha ya mawut (bubar) Mbah, setiap warna akan menonjolkan warnanya sendiri-sendiri, ujung-ujungnya nanti seperti hukum rimba alias “Asu gede menang kerahe”.

Sadar nggak kamu Ngger bahwa sebenarnya dasar negri itu adalah guru, guru yang mengajari tanpa kata-kata mulut namun menempatkan dirinya sebagai pemandu, memandu orang belajar menjadi beradab melalui makna yang terkandung di dalam dirinya. Hubungan vertical dan horizontal berdasarkan keberagaman penyusun negri sudah termaktub semua di dalamnya, jhan hebat tenan poro pendiri negrine (benar2 hebat pendiri negrinya). Ngger… salah satu ciri orang beradab yaitu memiliki tatanan dan mampu menempatkan dirinya berdasarkan tatanan kolektif negri tersebut.  

Wach…wach…wach… Simbah pagi ini jhan faseh tenan (fasih bener) khasanah nglondhonya, sip...sip…sip… he…he…he… Kamu ini gimana tho Ngger, Simbah serius malah kamu perhatiannya ke istilah. Lho saya khan menyimak Mbah, makanya sampai ingat istilah-istilahnya, gitu lho bos…he…he…he… Ha lak yo guyon nech… (ha khan ya becanda lagi), yo wes memang kalau dengan diselingi becanda akan lebih memudahkan untuk diingat dan dipahami kok Ngger. Lha Simbah bisa punya khasanah itu khan ya belajar juga dari kamu tho, dari yang lain juga, ini bentuk belajar menjadi beradab juga tho Ngger?... bagian dari budaya manusia yang selalu bergulir dan berkembang terutama mengarah pada kutub positif dan berkemanfaatan. Kalau yang berkembang kearah negatif itu khan disebut biadab Ngger, dan yang punya sifat biadab itu cuma manusia, hewan saja tidak punya, lha kalau ada manusia yang biadab berarti posisinya lebih rendah dari hewan tho?...

Sama dengan wakil kawulo yang akan disyahkan nanti, itu juga bagian dari belajar menjadi beradab. Belajar menjadi beradab dalam memaknai sesuai tatanan pengelolaan sebuah negri, dimana diantaranya memiliki fungsi kerja kolektif, pengontrolan, pengkritisan dan sebagainya yang menyangkut pengelolaan negri. Wakil kawulo itu nanti akan jadi penghuni rumah yang disebut lembaga Ngger. Lembaga yang harus menegakkan nilai-nilai yang berkeadilan dan keberadaban dalam kehidupan berbangsa dan menempatkan kepentingan kawulo negri di atas kepentingan lainnya.

Hal yang sangat penting adalah manusia-manusia penyusun dan penghuni lembaga tersebut harus beradab terlebih dahulu, dengan demikian wajah rumahnyapun akan mencerminkan hal itu. Lembaga itu hanya ibarat cermin, semua perilaku penghuninya akan terpancar dari cermin itu. Kalau penghuninya beradab maka cermin itu akan memancarkan keberadabannya, demikian juga sebaliknya. Jangan malah ironi yang terjadi, lembaga dengan penghuni yang terhormat malah melakukan tindakan-tindakan yang tidak beradab, seperti kasak-kusuk ngemplang uang kawulo, kasus perbuatan tidak senonoh, backing perusakan hutan, pembuncitan perut (meski tidak semua) di atas kelaparan kawulo, memaksakan kehendak kelompok sektarian melalui aturan-aturan yang menciderai hati kawulo lainnya, dan sebagainya.

Tidak usah banyak-banyak, dalam waktu dekat ini coba kita titik satu hal saja untuk bukti, bisa tidak mereka menuntaskan kasus penyelesaian korban lumpur Lapono, secara berkeadilan bagi kawulo yang menjadi korban. Lumpur Lapono itu sudah jelas dan nyata akibat kecerobohan dan kesalahan si perusahaan, dibuktikan dengan adanya rekomendasi para ahli-ahli dunia tentang dunia bawah tanah bahwa kejadian tersebut akibat kesalahan dan kecerobohan, bukan fenomena alam sekali lagi bukan fenomena alam !!!.... Jangan rampas harapan-harapan mereka yang terjalin seumur tubuh hanya demi ambisi. Mana ya yang katanya wakil kawulo, kok nggak kedengaran gaungnya di situ ya Ngger... apa lagi pada sibuk jogetan?...

Sejarah pahit yang pernah menyertai Rekiblik Etekewer hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi segenap komponen negri. Belajar menjadi beradab berarti belajar menjadi manusia yang sesungguhnya. Semoga kedua moment penting tersebut dapat menjadi makna baru dalam memaknai kehidupan keberadaban di negri ini. Dasar negri Rekiblik Etekewer merupakan guru panduan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, penuh dengan makna untuk belajar menjadi beradab. Tetaplah sakti dasar negri... makmurlah negri... sebab itu yang akan membuat segenap kawulo negri tersenyum di bumi pertiwi &2y.

Go Back

Comment