Bersama Sukses

pengetahuan rakyat adalah kekayaan bangsa yang tak ternilai

header photo

 

Menerjang Cengkeraman Kebodohan

REKIBLIK ETEKEWER XXIV – MENERJANG CENGKERAMAN KEBODOHAN  

Menerjang Cengkeraman Kebodohan membutuhkan suatu tekad yang kuat, ketulusikhlasan, pengabdian, kerjasama berbagai pihak secara simultan, sebab kebodohan merupakan musuh bersama. Kebodohan merupakan musuh utama dalam kehidupan manusia. Menjadi salah satu akar masalah yang sangat mendasar dan dapat menyebabkan seseorang kehilangan harkat dan martabat diri. Negara yang maju di dasari dengan pengetahuan, pengetahuan diawali dengan belajar dan gemar membaca, sehingga akan membentuk orang-orang berpengetahuan yang beradab, memiliki harkat dan martabat. Pada akhirnya akan berkontribusi pada kemajuan negara menjadi negara yang maju, beradab, memiliki harkat dan martabat sebagai sebuah bangsa.

Seorang Ibu Guru daerah terpencil di Gunung Kidul Yogyakarta, mengabdikan diri selama puluhan tahun mendidik, agar para muridnya dapat terlepas dari cengkeraman kebodohan. Wilayah bertopografi pegunungan, jarak tempuh yang jauh, keterbatasan segala sarana dan prasarana maupun fasilitas yang dimiliki sekolah, jatuh dari kendaraan berpuluh kali karena jalanan terjal dan tidak beraspal, tidak menyurutkan tekad pengabdiannya untuk mencerdaskan para anak bangsa yang menjadi muridnya. Tidak sarapan ketika berangkat sekolah karena keterbatasan perekonomian adalah keseharian yang dialami para murid, semakin menambah panjang daftar kesulitan dan keprihatinan. Meski demikian, semangat dan tekad pantang menyerah tetap menyala-nyala, semua itu demi melepaskan diri dari cengkeraman kebodohan dan keterbelakangan, semua dijalani dengan tidak mengeluh. Untuk semakin memotivasi para murid, guru tersebut melanjutkan studi ke Universitas Terbuka, harapannya agar menjadi contoh nyata bagi para murid bahwa belajar tidak mengenal usia, sekaligus menempatkan dirinya sendiri sebagai bagian dari pembelajaran.

Di Purworejo, seorang Bapak Guru melakukan inovasi dalam metode mengajar, keunikan metode yang diterapkan menyebabkan dirinya dijuluki sebagai guru gila. Di balik itu semua, metode yang diterapkannya mampu membangkitkan minat belajar, serta justru meningkatkan kemampuan para murid. Terbukti dengan tercapainya nilai rata-rata yang tinggi pada mata pelajaran matematika tersebut, yang bagi sebagian murid dianggap sebagai momok tersendiri. Salah satu ciri khas yang diterapkannya adalah  mengajak para murid berlomba untuk mengalahkannya melalui soal yang diberikan. Untuk setiap soal yang diberikan ada apresiasi khusus yang nilainya berbeda tergantung tingkat kesulitan soal. Apresiasi tersebut untuk memacu motivasi dan semangat para murid, mulai dari lima ribu rupiah sampai dengan bakso, semua berasal dari kantong guru itu sendiri.  Guru yang sehari-hari berjualan bakso guna mensiasati keterbatasan ekonomi, dilakukannya ketika tugas mengajar selesai. Apa yang telah dilakukan oleh guru itu merupakan sebuah perlawanan terhadap momok yang selama ini melekat pada mata pelajaran matematika, sekaligus menyampaikan pesan penting di balik apresiasi yang diterapkan bahwa setiap tingkat kesulitan memiliki nilai berbeda yang akan diperoleh kelak.

Seorang pemuda di Malang melakukan suatu tindakan berani dan mulia, demi mempertahankan keberlangsungan perpustakaan yang telah didirikan dengan menawarkan satu organ ginjalnya untuk dijual. Perpustakaan sederhana yang dimodali dengan cara menjual barang miliknya seperti motor, televisi dan play station. Rela diusir dari rumah, karena suara berisik yang ditimbulkan akibat aktifitas para pembaca. Anggota yang tadinya hanya beberapa orang telah berkembang mencapai ribuan orang, tidak ada biaya apapun yang dipungut, semua serba gratis dan siapapun dapat menjadi anggota. Tindakan luar biasa ini merupakan bentuk lain memaknai revolusi diri untuk turut melakukan pencerdasan bangsa. Disadari atau tidak, langsung atau tidak langsung, pemuda tersebut telah menjadi sentrum bagi suatu perubahan besar, terutama dalam membuka dan memperluas cakrawala wawasan bagi para anggotanya. Jiwa mulia yang dimiliki pemuda tersebut membentuknya menjadi orang yang sangat luarbiasa dalam menerjang cengkeraman kebodohan.

Di Solo seorang kakek berusia ± 60 tahun, berbekal dengan niat ibadah, setiap hari berjalan kaki keliling membawa buku untuk dibaca oleh siapapun, tidak ubahnya seperti perpustakaan keliling. Tidak ada biaya apapun untuk membaca buku-buku yang dibawa tersebut, namun juga tidak menutup diri apabila ada pembaca yang dengan ikhlas mengapresiasi setiap buku yang dibaca. Pernah dirampok saat dalam perjalanan keliling, uang yang hanya enam ribu lima ratus rupiah sebagai bekalnya dibawa lari berikut tas. Kesedihan yang tidak terhingga menghinggapi kakek tua ini, buku-buku yang selalu menemaninya setiap hari dibawa kabur. Namun pada pertengahan jalan, tas berisi buku-buku tersebut dibuang oleh para perampok dan berceceran di jalan, dengan rasa bersyukur kakek ini menjumputi satu demi satu bukunya. Hari tua yang semestinya waktu istirahat dari berbagai kesibukan, namun kakek ini mengisinya dengan tindakan yang sangat mulia, turut menjadi bagian dalam pencerdasan bangsa dengan caranya sendiri. Apa yang dilakukan oleh kakek ini memiliki makna yang sangat berarti dalam menerjang cengkeraman kebodohan, bakti yang tidak terbatasi usia.

Tulisan ini sebagai bentuk terimakasih dan apresiasi yang sangat mendalam terhadap tindakan luar biasa yang dilakukan oleh orang-orang luar biasa seperti tersebut di atas. Kemuliaan hati dan jiwa, membentuk mereka menjadi sosok guru (digugu dan ditiru) yang sebenarnya secara nyata melalui pengabdian tanpa mengeluh menerjang cengkeraman kebodohan, sebagai bagian dalam rangka upaya  yang masih terdapat di negri ini. Mereka hanya orang-orang biasa dan sederhana, bukan para elit negri, namun apa yang mereka lakukan jauh melebihi elit negri ini. Mereka hanyalah segelintir dari banyak orang luar biasa negri ini yang pantas dijadikan contoh. Wilayah pendidikan memiliki peranan yang sangat penting bagi terbentuknya wajah negri.

Go Back



Comment