REKIBLIK ETEKEWER XXVIII – KEBANGKITAN PARA NDORO GEMBENG
Memimpin dan mengelola sebuah negri ibarat mengelola kompleksitas masalah dan tantangan. Prikehidupan negri diantaranya akan turut ditentukan oleh kemampuan sang pemimpin merubah masalah dan tantangan menjadi sebuah output kesejahteraan yang mampu dirasakan dan menjadikan rakyat sejahtera. Konsekuensi logisnya dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kapabilitas, integritas, visioner, sikap yang kuat, berani mengambil resiko dan sebagainya. Sepertinya negri ini semakin marak bagai cerita sinetron, dipenuhi oleh para elit dan politisi melankolis, bermental juragan dan cengeng. Para aktor elit tersebut memerankan adegan dalam babak cerita politik visual, membangun pencitraan guna mendapatkan dukungan melalui perekayasaan simpati. Apakah ini merupakan babak baru Kebangkitan Para Ndoro Gembeng ?..
Kebangkitan Para Ndoro Gembeng jika kita coba urai sedikit, terdiri dari empat kata yaitu kebangkitan, para, ndoro dan gembeng. Masing-masing kata memiliki siratan arti lebih kurangnya sebagai berikut; Kebangkitan tersirat memiliki makna adanya sebuah energi besar yang menggerakkan, bagun dari suatu kondisi yang pasif atau vakum. Para mengandung makna jumlah yang jamak atau lebih dari satu. Ndoro mengandung makna tuan atau juragan, cenderung bersikap feodal, arogan dan minta dilayani serta dituruti setiap kemauannya sebagai bentuk mencirikan posisi kelas sosial dirinya. Gembeng mengandung makna cengeng, mudah menangis, mudah mengeluh, tidak tahan uji dari terpaan ataupun tekanan.
Simbah jadi teringat sebuah istilah yang waktu itu diucapkan oleh Bung Karno, pemimpin besar tersebut mengistilahkan dengan ngak ngik ngok untuk musik yang dipandang cengeng, melankolis, tidak patriotis dan lirik lagu yang kurang nasionalis. Pada masa beliau, negri sedang membutuhkan energi besar untuk bangun dan bangkit mengejar ketertinggalan dan keterpurukan akibat masa penjajahan yang lalu. Dibutuhkan berbagai bentuk percepatan kebangunan dan kebangkitan, diantaranya melalui bentuk-bentuk yang mampu menumbuhkan sikap patriotis, nasionalisme, memiliki daya juang dan tidak cengeng serta pantang menyerah, salah satu diantaranya melalui kesenian dan musik. Kesenian musik yang tidak sejalan dengan tujuan tersebut diberi istilah oleh Bung Karno dengan musik ngak ngik ngok.
Ketika jaman pemerintahan Pak Harto, para penyanyi dengan lagu-lagu melankolis, cengeng, tidak menggugah dan sebagainya, tanpa banyak komentar dan bicara dilarang tampil di televisi dengan cara yang sedemikian rupa. Saat itu hanya ada satu-satunya stasiun televisi dan itu milik negara, pencekalan tampil tersebut praktis memberi dampak yang besar baik terhadap penyanyi yang bersangkutan maupun masyarakat.
Jaman semakin berkembang dan berubah, terutama pasca reformasi tidak ada satupun pemusik dan musik yang dicekal atau dilarang. Semua bebas tampil mengekspresikan, mulai dari yang berjenis melankolis, cengeng alias ngak ngik ngok sampai yang gedubrakan tidak jelas didengar. Aktualisasi mereka diberi ruang yang seluas-luasnya. Baik ketika jaman Orde Lama maupun Orde Baru, orientasi politik para politisi masih pada Substansial Ideologis dan tidak cengeng, yang cengeng dan melankolis hanya segelintir penyanyi dan musisinya (tidak semuanya). Lucunya pasca reformasi telah terjadi pergeseran, justru ternyata banyak para politisinya yang melankolis, mengharu biru, cengeng atau ngak ngek ngok. Apakah ini indikasi era Kebangkitan Para Ndoro Gembeng?..
Ngger... yen Simbah mat-matke (kalau Simbah perhatikan), sajake wes terjadi pergeseran orientasi politik (sepertinya sudah terjadi pergeseran orientasi politik). Lho, Lha pripun tho Mbah...(lho, lha bagaimana tho Mbah) tanya cucunya Simbah penasaran. Ngene lho maksude Simbah, neng sak durunge ojo digeguyu yo Ngger, nek digeguyu yo Simbah moh njelaske (tapi sebelumnya jangan ditertawakan ya ngger, kalau ditertawakan ya Simbah tidak mau menjelaskan).... ha ha ha...Simbah belum-belum sudah mutung duluan tho... (ha ha ha..Simbah belum-belum sudah ngambek duluan tho). Lho maksude Simbah ki ben nyimak seng tenan dadhi ben ngerti, ngono lho...dudhu perkoro mutung ra mutung Ngger (lho maksud Simbah itu agar kamu menyimak dengan sungguh-sungguh jadi supaya ngerti,gitu lho...). Haaannnyyiiaakkk.... Simbah nggak mau kalah nich yee...ledek cucunya. Monggo kulo simak penjelasanipun Simbah... (silahkan saya simak penjelasannya Simbah...).
Ngene lho Ngger...(gini lho Ngger...), era politik saiki wes ketok banget terjadi pergeseran, seng Simbah maksud orientasine. Orientasi perpolitikan saiki wes nggeser seko seng mbiyene substansial ideologis saiki pencitraan, visual (era politik sekarang sudah terlihat sekali terjadi pergeseran. Orientasi perpolitikan sekarang sudah bergeser dari yang dulunya substansial ideologis sekarang pencitraan, visual). Saiki okeh disuguhi bentuk-bentuk adegan lan kejadian seng sakjane secara tersembunyi kui bagian seko mbangun citra, tujuane yo kui sebuah perekayasaan simpati ben entuk dukungan, lha nek modele ngene ojo salahke nek Simbah arani politik lan politikus kelas sinetron (sekarang banyak disuguhi bentuk-bentuk adegan dan kejadian yang sebenarnya secara tersembunyi itu bagian dari membangun citra, tujuannya yaitu sebuah perekayasaan simpati supaya mendapat dukungan, lha kalau model begini jangan salahkan Simbah kalau Simbah istilahkan politik dan politikus kelas sinetron). Iki babak anyar Kebangkitan Para Ndoro Gembeng, ra gumun nek saiki okeh poro wakil kawulo seng perilakune ibarate dho jogetan topeng (ini babak baru kebangkitan poro ndoro gembeng, tidak heran jika sekarang banyak para wakil rakyat yang perilakunya ibarat pada jogetan topeng).
Saiki wes dho keluwak-lawik kok...(sekarang sudah kebalik-balik kok), kewalik-walik Mbah.. (kebalik-balik Mbah) salah itu Simbah, lho piye tho (lho gimana tho), jajal artine opo (coba artinya apa)... ya kebalik-balik Mbah, nach khan kebalik-balik tho, jadi nggak salah khan Ngger wong kebalik-balik he...he...he..
Coba kamu simak akhir-akhir ini di banyak media dan berita Ngger, pasti kamu tidak asing lagi dengan ungkapan yang dilontarkan dimana mengandung makna keluhan, belas kasihan, minta dikasihani, menghiba dan sebagainya. Seperti istilah kata-kata fitnah yang kejam, menghakimi, tuduhan dan praduga untuk menjatuhkan harkat dan martabat, terdzolimi dan sebagainya. Kalau semua itu keluar dari masyarakat atau rakyat yang lemah dan tidak memiliki kekuasaan lain soal Ngger, lha ini keluar dari elit yang memiliki otoritas dan kekuasaan tertentu, ini sama saja dagelan topeng monyet alias tidak lucu tho. Ini khan jelas berkesan membangun pencitraan diri dengan ironisasi opini. Lha kalau elit politik seperti ini ya ini sama saja menunjukkan tipikal politisi gembeng alias cengeng Ngger. Walaupun gembeng khan jadi elit Mbah, itu namanya si gembeng yang bernasib bedjo alias mujur alias beruntung wwwuuuaaahahaha.. Jangan tertawa dulu Ngger, lha para elitnya sudah terjangkit penyakit cengeng, hanya menghitung waktu saja untuk terjajah oleh bangsa lain dalam bentuk yang lain juga, contohnya ekonomi, kedaulatan politik dan sebagainya.
Logika berpikirnya khan begini Ngger, mana ada juragan atau ndoro yang jelas-jelas memiliki hak kekuasaan atas pembantunya di dzolimi pembantunya??... Mana ada seorang majikan yang memiliki hak dan kewenangan hampir absolut teraniaya oleh buruhnya??.... Mana ada penguasa tertindas oleh kelemahan rakyatnya??... Semua itu khan hanya akal-akalan melakukan ironisasi opini sebagai bagian dari membangun pencitraan diri untuk mendapatkan dukungan demi kepentingan politiknya. Suatu ketertindasan, teraniaya, terdzolimi hanya berlaku bagi masyarakat atau rakyat atau kaum yang lemah saja. Bener nggak Ngger...jangan cuma manggut-manggut saja, kamu itu manggut-manggut ngerti atau manggut-manggutnya ondel-ondel hhhuuuaaa ha ha ha.....
Inilah Ngger sebuah perkembangan dan perubahan baru yang semakin marak menciptakan ruang bagi Kebangkitan Para Ndoro Gembeng. Ada baiknya merenungkan kembali tentang Berdaulat dalam berpolitik, Berdikari dalam berekonomi, Berkepribadian dalam berbudaya. Ketika ketiga hal ini tidak lagi dipegang teguh, maka akan dengan mudah dilindas arus deras globalisasi sehingga tidak heran akan semakin banyak ditemukan tipikal-tipikal cengeng di pentas elit, lebih suka mengeluh daripada bersikap ksatria dalam menghadapi setiap permasalahan. Ini era baru, era Kebangkitan Para Ndoro Gembeng.