Bersama Sukses

pengetahuan rakyat adalah kekayaan bangsa yang tak ternilai

header photo

 

Otonomi Daerah Dan Tahta Liar

REKIBLIK ETEKEWER XXVII – OTONOMI DAERAH DAN TAHTA LIAR

Otonomi Daerah Dan Tahta Liar hanyalah sekelumit kecil realitas yang bisa dilihat sejak diterapkannya Otonomi Daerah pasca reformasi tahun 1998. Tidak dipungkiri realitas yang terjadi memberikan dampak positif dan negatif, bagai sekeping mata uang, dua sisi berbeda yang selalu beriringan. Pertanyaannya sisi manakah yang lebih dominan?... Berapa banyakkah jumlah daerah yang mampu memberikan dampak positif bagi kemaslahatan dan kesejahteraan setiap rakyat di daerahnya?...

Ngger... jamune dileboke neng gendul putih kui, ora usah grusa-grusu, ditoto seng apik lan mapan ndisik (ngger.. jamunya dimasukkan kedalam botol putih itu, tidak usah terburu-buru, ditata yang baik dan mapan dulu). Kabeh yen dilakoke seng temoto insyaallah dadhine bakalan apik (semua jika dilakukan dengan tertata baik insyaallah jadinya bakal baik). Nggih Mbah... (iya Mbah), ini sedang mencoba cara memasukkan yang tepat dan efektif sehingga tidak tumpah, kalau ada yang tumpah paling tidak bisa diantisipasi sesedikit mungkin sehingga tidak terbuang percuma. Bagus Ngger... itu namanya bekerja dengan menggunakan rencana dan menjalankan rencana dengan cara yang sudah diperhitungkan.

Mendengar kata grusa-grusu (terburu-buru) yang Simbah katakan, saya jadi teringat dengan penerapan Otonomi Daerah di negri Rekiblik Etekewer. Terkesan buru-buru menerapkan sistem, tanpa didahului dengan uji coba awal sebagai pilot proyek pada daerah yang dipandang sudah mapan dan segala potensi sumberdayanya sudah siap. Hal tersebut sangat penting agar dapat diketahui titik-titik lemah dan rawan dari sistem tersebut. Sisi lain guna mengetahui seberapa jauh dampak positif dan negatif yang timbul, untuk selanjutnya diperbaiki sebelum masuk pada penerapan secara total keseluruh daerah. Evaluasi dan pembenahan sangat penting, sampai dipandang mendekati titik yang paling sempurna sebelum diterapkan secara luas keseluruh daerah. Tidak akan ada gunanya sebuah sistem jika tidak menyejahterakan rakyat.

Penerapan Otonomi Daerah yang dilakukan secara tergesa-gesa akibat euforia reformasi telah semakin menampakkan buahnya. Buah-buah yang busuk lebih dominan jika dibandingkan dengan buah yang ranum dan segar bagi warganya, jika ada buah segar yang ranum toch bisa dihitung dengan jari. ”Raja-raja” kecil bermunculan, berebut mendirikan Tahta Liar mereka dan kroni-kroninya. Kenyataan menunjukkan bahwa jumlah ”raja” yang muncul jauh lebih banyak jika dibandingkan jumlah raja yang sebenarnya dalam sejarah nusantara. Feodal-feodal baru yang gila hormat dan minta dilayani rakyat merupakan pemandangan keseharian. Jalan raya sebagai fasilitas umum di mana rakyat memiliki hak sama dalam penggunaan harus mengalah ketika sirine meraung-raung tanda minta diistimewakan di jalan. Penggunaan sirine dan prosedur vvip telah diatur secara standar internasional menjadi rusak oleh ulah segelintir oknum pejabat di daerah dengan perilaku feodal bentuk barunya.

Tidak dipungkiri melalui penerapan Otonomi Daerah, beberapa daerah telah menampakkan wajah keberhasilannya, seperti berhasil menarik investor untuk menanamkan modal sehingga terjadi penyerapan tenaga kerja dalam dunia usaha yang dijalankan. Sekolah gratis meski baru sebatas tingkat dasar dan menengah pertama, demikian juga dengan pelayanan kesehatan yang bersifat gratis. Ekonomi rakyat di daerah yang bersangkutan mengalami peningkatan sehingga menaikkan daya beli masyarakat guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pembangunan fasilitas dan prasarana umum yang terencana dan tertata dengan baik dalam master plan tata ruang. Melakukan pemangkasan birokrasi sehingga semakin singkat dengan model satu atap dan satu pintu. Kehidupan sosial kemasyarakatan yang terbangun dengan baik, telah menumbuhkan jalinan kerukunan sesama warga masyarakat maupun antar umat beragama. Keberhasilan yang diraih mampu sejalan dengan karakter khas daerah yang bersangkutan, tanpa harus kehilangan ciri khas yang ada. Keberhasilan ini tidak terlepas dari matangnya persiapan dalam rangkaian proses panjang yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan, baik itu yang berkaitan dengan Suksesi Kepemimpinan di daerah tersebut, sehingga dapat memilih seorang pemimpin yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan dan mau melayani masyarakatnya dengan hati, pada dasarnya Pemimpin Itu Pelayan.

Dibandingkan daerah yang berhasil ternyata jumlah daerah yang belum atau mungkin kurang berhasil jumlahnya jauh lebih banyak dan dominan, salah satu faktor penyebabnya adalah ketidaksiapan. Efek ketidaksiapan itu dapat terlihat dalam bentuk seperti semakin tergerusnya nasionalisme bangsa menjadi nasionalisme yang sempit (kedaerahan) dengan dalih mengatasnamakan putra daerah (dalam arti sempit). Tidak ada masalah dengan putra daerah, siapapun berhak sebagai warga negara, namun harus dititik fokuskan pada kemampuan, kapabilitas, kapasitas, profesionalitas dalam memimpin, dan sebagainya. Semua itu dibutuhkan guna menyikapi tantangan kedepan, tidak dipungkiri semakin lebih berat seiring derasnya arus persaingan global. Apa gunanya bersikukuh dengan pemikiran sempit harus putra daerah asli jika tidak memenuhi kriteria tersebut, hasilnya justru tidak membawa kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di daerah tersebut. Pilih putra daerah (dalam arti luas) yang memenuhi kriteria untuk memimpin. Setidaknya agar tidak terbuka jalan menjadi bentuk yang salah dari Otonomi Daerah Dan Tahta Liar segelintir orang atau kelompok, melainkan harus dapat mewujudkan suatu daerah otonom yang memakmurkan dan menyejahterakan rakyat di daerahnya secara real.

Otoritas dan keleluasan yang mengikuti sistem Otonomi Daerah banyak disalahartikan dengan membuat kebijakan tanpa kendali secara bijak, sehingga terjadi saling tumpang tindih akibat kepentingan sempit. Foya-foya anggaran demi fasilitas segelintir elit pejabat daerah, seperti mobil dinas yang mewah dengan harga mahal. Nilai dari harga mobil tersebut jika digunakan untuk membangun gedung sekolah setingkat SD, akan berdiri sebuah gedung sekolah yang lengkap berikut alat bantu peraga penunjang pendidikan. Pemilihan merek dan jenis mobil bagi pejabat di bawahnyapun terkesan atas dasar selera pejabat bersangkutan sebagai pengguna. Pemilihannyapun banyak terjadi salah kaprah, tidak sesuai dengan urgensi dan peruntukan bidang tugasnya. Pejabat yang bidang tugasnya berkaitan dengan lapangan justru kendaraannya jenis kendaraan kota, demikian juga sebaliknya.

Pergantian pejabat baru, mobil dinaspun ikut baru. Pertanyaannya kemana mobil dinas terdahulu sebagai inventaris negara?... hampir tidak pernah ada informasi yang transparan mengenai hal ini. Jika era pemerintahan lalu, mobil dinas turun temurun kepada pejabat pengganti (penghematan biaya yang besar), sekarang hal tersebut relatif jarang atau bahkan sudah tidak ada lagi. Tidak heran jika sering ditemukan aset inventaris negara dipakai oleh orang yang tidak berhak. Menyikapi hal seperti ini, perlu dilakukan audit secara nasional terhadap aset-aset dan inventaris negara dari lembaga yang kredibel dan independen terhadap seluruh daerah, mengingat semua itu dibeli dan dibiayai oleh uang rakyat. Mengenai aset inventaris negara ini perlu diterapkan sistem sentralistik, sehingga terdata dan termonitor dengan jelas, agar penggunaannya benar-benar sesuai dengan peruntukannya.

Banyak hal yang menyakitkan hati rakyat di daerah-daerah, seperti korupsi yang marak dan terang-terangan, ironisnya oknum di pemerintahan tersebut malah membanggakan hasil korupsinya, dengan memperlihatkan (terlepas langsung atau tidak langsung) kekayaannya secara mencolok mata (jika dikonversikan dengan gaji dan jabatan sangatlah mustahil bisa demikian). Persekongkolan dan pungutan biaya siluman dalam penerimaan calon pegawai, pengurusan keperluan di tingkat birokrasi tidak ubahnya seperti dagang sapi. Pemilihan kepala daerah telah menimbulkan biaya tinggi, secara tidak langsung menjadi pintu pembuka munculnya para Pahlawan Kesurupan. Ironis memang, tujuan yang diharapkan agar terjadi optimalisasi potensi dan kemanfaatan untuk kesejahteraan seluruh rakyat di daerah justru sama sekali tidak tersentuh apalagi menjadi point prioritas. Pembangunan fasilitas dan prasarana umum yang tidak jelas, baik dari sisi kualitas maupun pelaksanaannya, tidak heran jika ada istilah di kalangan masyarakat ”perbaikan jalan kualitas lebaran” artinya menjelang lebaran diperbaiki, sebelum lebaran berikutnya sudah rusak lagi, ini hanya salah satu contoh kecil dari sekian banyak hal yang ada. Rakyat yang untuk beli minyak tanah harus antri, beli beras yang tidak cukup untuk sehari apalagi pemberian gizi pada balitanya, dan bertumpuk kesulitan yang dialami, harus membiayai foya-foya fasilitas dari para elit pejabatnya. Belum lagi berapa banyak pajak bagai alkohol, alias menguap tidak jelas. Sungguh sebuah pemandangan yang anti klimaks nurani dan kemanusiaan. Sepertinya penjajahan bagi rakyat  belum usai di tengah sistem Otonomi Daerah Dan Tahta Liar segelintir manusia yang disebut elit pejabat beserta kroni dan kelompoknya. Sepertinya hal-hal tersebut semakin menguatkan terjadinya sebuah Negara Halusinasi.

Go Back



Comment